Puisi-puisi Fatah Anshori
Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya Ilalang di Kemarau Panjang (2015). Buku kumpulan puisinya Hujan yang Hendak Menyalakan Api (2018). Salah satu ceerpennya terpilih sebagai Penulis Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018.
Mustafa Hanya Tinggal Nama
Sebermula hanya sayup-sayup di sekitar perigi pada suatu pagi. Segala yang ingin mati percuma atau sia-sia harus di sana. Seperti Mustafa hanya tinggal nama, satu dua tahun yang lewat seolah baru melumat sekaligus meralat dan entah siapa yang kualat. Sebelum ke ladang ia tinggalkan kata-kata ibunya yang rapuh dan seolah luruh dari tempat-tempat jauh. Pada keberangkatan ke sekian mendadak langit lebam, angin seperti menyeret segala balak, bintang-bintang dan bulan seakan tenggelam pada rahim malam. Ia tak menemukan jalan ke ladang, lalu segalanya ia temukan berlubang: ingatan, penglihatan, juga tujuan. Jurang menganga di hadapannya dan tak ada suara kecuali kicau jalak di seberang tanah berpetak. Seketika ia teringat perang, orang-orang berang yang mengangkat pertikaian sebagai pelunasan menemukan kegagalan, segalanya sia-sia. Dendam kemudian tertanam di laku dan tidakan anak-anak mereka. Kesumat seolah melumat jalan-jalan kecil yang telah mereka cicil sejak lahir.
akhirnya ia serupa sepi, lurus dan berdiri pada satu garis, yang miris dan yang amis.
2019
Lindap
Tapi entah kenapa aku yakin pada matamu, di sana seolah belum ada kota, belum ada dosa, hanya sekedar desa dengan rumah-rumah kayu dan orang-orang yang saling bahu, membantu menyusun ulang masa lalu. Dari reruntuhan duka, dari luka yang masih baru, dari kesedihan yang enggan terpendam. Dan di balik gerumbul barongan mereka berjalan beriringan, belum ada kobar api yang merusak isi hati, mereka tak ingin mencuri apa yang belum dimiliki, atau saling memaki segala yang ciri. Mereka tak ingin menjadi api, menjalar dan membakar jalan-jalan sunyi senyap. Tapi tetap, di matamu aku ingin lindap.
2019
Yang Bekerja Dalam Diam
Atau barangkali hanya akal-akalan
ada sesuatu yang ingin kau raih dan rengkuh
di antara pecahan tubuh rapuhku,
kau mengaku pernah ke bungalow di
bukit-bukit batu berhantu, menyaksikan angin
dari selatan membawa perahu-perahu
patah para nelayan. Yang katamu kerap
menghantui orang-orang miskin desamu dengan
masa lalu penuh desingan peluru. Meski
ke hutan selatan kau cari perlindungan,
tapi tuhan kerap menaruh kematian di tempat
-tempat yang kau anggap paling aman
dan nyaman. kadang terselip di bekal
makanan, larut di botol minuman yang kau harapkan
ketika hari-hari meradang membakar
ladang-ladang kerontang di selatan,
yang kau sematkan di sekitar jalan ke makam
orang-orang yang ditinggalkan
mereka hidup dalam kehilangan,
dan kematian hanya mengekalkan segala angan
dalam tidur panjang sebelum
pelukan datang membangunkan.
atau barangkali hanya akal-akalanmu, tangan
-tangan yang bekerja dalam diam di sepertiga malam.
2019